Cerita Suku Komodo dan Keseharian Warga di Pulau Rinca

Cerita Suku Komodo dan Keseharian Warga di Pulau Rinca

Jakarta – Siang itu kapal Bahtera Seva II yang detikTravel tumpangi singgah di dermaga Pulau Rinca, tepatnya di Desa Pasir Panjang, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat. Begitu masuk ke perkampungannya, detikTravel melihat seorang kakek tengah menjajakan souvenir berupa kalung mutiara, gelang, dan patung kayu komodo beragam ukuran.

Kakek bernama Ishata (65) tersebut merupakan tetua di kampung Pasir Panjang. Setelah perkenalan, dia tak segan-segan bercerita tentang masa lalu penduduk di Pulau Rinca termasuk soal asal muasal komodo.

“Kalau pertama kali yang di Rinca ini suku Komodo dan disusul suku Bajo. Tapi mereka yang sebenarnya kedua suku ini, yang memiliki pulau ini tapi mereka itu senangnya tinggal-tinggal di pantai, pindah-pindah. Makanya itu mereka tidak menetap dia punya tanahnya,” ujarnya, Senin (25/2/2019) lalu.

Menurut legenda, komodo sebenarnya merupakan kembaran dari suku Komodo. Ia dilahirkan dari seorang wanita bernama Putri Naga Komodo yang menikah dengan seorang pria. Putri Naga Komodo melahirkan seorang laki-laki dan sebuah telur yang menetaskan hewan komodo betina.

Kaitan suku Komodo dengan hewan komodo diketahui saat anak dari Putri Naga Komodo sedang berburu. Kala itu ia menemui seekor komodo yang hendak memakan rusa buruannya. Saat akan membunuhnya, muncul sang Putri Naga Komodo yang memberitahu bahwa komodo tersebut adalah saudara kembarnya.

“Kalau tidak ada peristiwa perburuan maka saudaranya ini tidak tahu bahwa kembarannya ini komodo. Dia mau angkat panahnya, kata mamanya janganlah engkau bunuh, itulah saudaramu,” papar Ishata.

Warga Desa Pasir Panjang memang sudah lama berdampingan dengan komodo. Meski ada beberapa kejadian serangan komodo, hal itu sudah mereka anggap sebagai risiko karena berkurangnya cadangan makanan atau sebagai bentuk perlindungan si komodo.

Dari cerita warga, komodo biasanya turun ke perkampungan karena mencium bau anyir atau amis. Mereka juga biasanya mengejar kambing warga atau kucing yang mendekati habitat mereka.

Namun menurut Ishata, di zaman dahulu komodo bisa mengerti bahasa suku Komodo. Dengan mengusirnya menggunakan bahasa setempat, komodo itu pun pergi menjauh.

“Seperti misalnya ‘moke mai’ (jangan datang), ‘moke waki ahu’ (jangan gigit saya), komodo itu pergi sudah,” ungkap Ishata.

Sayangnya kebiasaan itu kini telah pudar. Pandangan masyarakat masa kini yang menganggap keberadaan komodo sebagai ancaman membuat mereka tak lagi bersahabat seperti dulu.

“Padahal bukan sekarang saja itu ada komodo. Kadang kita lihat komodo tapi kita sakiti dia. Kalau dulu lepas saja. Kamu cari hidupmu, saya cara hidup saya,” pungkasnya.

Setelah mendapatkan cerita asal usul komodo, kami pun berbincang dengan kepala desa setempat. Diketahui bahwa, Desa Pasir Panjang dihuni oleh 1.330 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 450. Mayoritas warganya merupakan nelayan. Mereka menggantungkan hidupnya dari hasil laut seperti ikan dan teripang.

“Nelayan semua, jualan ikan teri yang dikeringkan, mancing pukat, teripang. Kadang ibu-ibu juga kalau mereka punya tenaga pergi melaut. Kalau yang jarang melaut itu bantu suaminya jemur ikan,” ungkap Kepala Desa Pasir Panjang, H. Muchtar.

Perjalanan menyusuri desa dilanjutkan. Dari kiri dan kanan terlihat beberapa bangunan rumah kayu berbentuk panggung. Sesekali ditemui juga beberapa ternak warga di jalanan.

Tim detikTravel kemudian berbincang dengan salah seorang nelayan yang juga pengepul ikan teri bernama Mustamin (51). Ia mengaku sudah lama menggeluti profesinya tersebut. Sebagai pengepul ikan teri, ia membeli hasil tangkapan nelayan dan dijual kembali setelah dikeringkan.

“Teri putih ambil Rp 35 ribu per kilo dari nelayan terus kita oper ke pembeli itu Rp 40 ribu, sekilo kita tarik Rp 5 ribu. Kemudian teri batu itu sekarang Rp 30 ribu per kilo ke penampung lagi Rp 5 ribu. Setiap jenis ikan kita tarik Rp 5 ribu di situ sudah termasuk pengangkut, kapal, buruh, dan solar,” katanya.

Cerita Suku Komodo dan Keseharian Warga di Pulau RincaFoto: Moch Prima Fauzi

Ikan teri basah yang didapat dari nelayan ia keringkan selama dua hari di bawah terik matahari. Proses pengeringannya dibantu oleh para tetangganya yang diupah Rp 30 ribu per hari.

Dalam sekali memborong, ia bisa mendapatkan 200 sampai 300 kg teri. Hasil pengeringannya ia jual ke Labuan Bajo hingga daerah lainnya. Pendapatan dari hasil ikan teri tersebut dia tabung melalui bank apung Teras BRI Kapal Bahtera Seva II.

Sebagai informasi, Teras BRI Kapal Bahtera Seva II. merupakan layanan bank terapung dari Bank BRI untuk warga di kepulauan Nusa Tenggara Timur.

Adapun rute yang ditempuh Teras BRI Kapal Bahtera Seva II adalah Pulau Rinca, Pulau Komodo, Pulau Messah, hingga Pulau Papagarang. Dengan adanya bank terapung ini warga bisa mendapatkan akses perbankan lebih mudah tanpa harus menyeberang lautan ke Labuan Bajo. Baca berita lainnya mengenai Teras BRI Kapal Bahtera Seva di Ekspedisi Bahtera Seva.

(mul/mpr)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 × one =